Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami terlebih dahulu dasar-dasar perlakuan transaksi keuangan dalam perbankan syariah.
Sistem perbankan syariah merupakan sistem yang didasarkan pada hukum Islam (syariah). Salah satu prinsip utama perbankan syariah adalah sistem bagi hasil atau “profit sharing”. Dalam sistem ini, bank dan nasabah sepakat untuk membagi hasil usaha sesuai dengan persentase yang disepakati di awal, baik itu keuntungan maupun kerugian.
Pinjaman modal yang didapat dari bank syariah biasanya dilakukan melalui akad yang dikenal dengan nama Akad Mudharabah. Dalam akad ini, ada dua pihak yang terlibat, yaitu:
- Shohibul Maal atau pemilik modal, dalam hal ini adalah bank syariah yang memberikan pendanaan.
- Mudharib atau pengelola modal, yaitu pihak yang menggunakan modal untuk menjalankan usahanya.
Dalam konteks pertanyaan tersebut, Bu Nurwe berada dalam posisi Mudharib. Ia adalah pengelola modal, yang menggunakan dana dari bank (Shohibul Maal) untuk menjalankan usaha kantinnya. Oleh karena itu, ia berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman modal tersebut dengan prinsip bagi hasil, sesuai dengan apa yang disepakati pada awal kerjasama.
Sistem bagi hasil ini membawa manfaat kerjasama yang saling menguntungkan antara bank serta nasabahnya. Bu Nurwe sebagai Mudharib memiliki kesempatan untuk mengembangkan usahanya tanpa khawatir tentang bunga pinjaman yang terus bertambah seperti dalam bank konvensional. Sementara bank sebagai Shohibul Maal, memiliki potensi mendapatkan keuntungan dari hasil usaha Bu Nurwe.
Dengan demikian, kedudukan Bu Nurwe dalam transaksi keuangan syariah ini adalah sebagai Mudharib.