Sekolah

Menganalisis Sudut Pandang Dalam Penceritaan : “Di Depan Ratu Biksunu Gayatri yang Berdiri, Sri Gitarja Duduk Bersimpuh”

×

Menganalisis Sudut Pandang Dalam Penceritaan : “Di Depan Ratu Biksunu Gayatri yang Berdiri, Sri Gitarja Duduk Bersimpuh”

Sebarkan artikel ini

Sudut pandang atau perspektif merupakan salah satu elemen penting dalam sebuah penceritaan, baik itu novel, cerita pendek, maupun drama. Melalui sudut pandang, penulis bisa mengajak pembaca memahami dan memandang cerita dengan lensa tertentu. Sudut pandang dapat dilihat dari cara penulis menceritakan peristiwa dan menggambarkan karakter-karakter dalam cerita.

Berdasarkan soal uraian “Di Depan Ratu Biksunu Gayatri yang Berdiri, Sri Gitarja Duduk Bersimpuh”, kita diajak memahami peristiwa dan emosi yang dialami oleh Sekar Kedaton Dyah Wiyat melalui sudut pandang subjektifnya. Dyah Wiyat terlihat lebih tegar dari kakaknya, yang mungkin menunjukkan sisi hatinya yang sulit menerima pernikahan tersebut. Ketika para ibu ratu menangis, Dyah Wiyat sama sekali tidak menitihkan air mata. Ia tampaknya menunjukkan penolakan atau kemarahan.

Secara umum, sudut pandang yang digunakan dalam penceritaan tersebut adalah sudut pandang orang ketiga terbatas. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ganti orang ketiga (“dia”, “nya”) dan intensitas emosional yang diberikan penulis padanya. Penulis menyampaikan pikiran dan perasaan Dyah Wiyat dengan detail, memberikan pembaca akses terbatas ke dunia batinnya.

Sekarang, mari kita cermati lebih lanjut tentang sudut pandang orang ketiga ini, sekaligus memahami mengapa itulah pilihan sudut pandang yang paling tepat untuk penceritaan ini.

n

Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas

Dalam sudut pandang orang ketiga terbatas, kita bisa masuk ke pikiran dan perasaan salah satu karakter, sekaligus tahu apa yang ia lihat dan dengar. Sudut pandang ini memungkinkan penulis untuk mendalami satu karakter dalam kedalaman, memaksimalkan emosi dan konflik batin yang dapat ditangkap pembaca.

Dalam cerita ini, sudut pandang orang ketiga terbatas diarahkan pada Dyah Wiyat. Kami tahu apa yang dialaminya, apa yang dia rasakan, dan apa yang dia pikirkan. Penulis bahkan mendeskripsikan visualisasi yang dia lihat, seperti wajah Rakrian Tanca dan prajurit yang menggenggam keris.

Menggunakan sudut pandang ini, penulis memberikan kita pandangan yang mendalam dan emosional tentang bagaimana Dyah Wiyat merespons situasi tersebut. Ingatlah, seharusnya kita tidak mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh karakter lain dalam cerita ini – pengetahuan dan empati kita terhadap perasaan dan keadaan mereka seharusnya datang secara tidak langsung, melalui tindakan mereka dan bagaimana Dyah Wiyat menanggapinya.

Menggunakan sudut pandang ini, penulis berhasil mengajak pembaca untuk lebih memahami dan merasakan konflik batin yang dialami oleh Dyah Wiyat, memberikan nuansa lebih dramatis dan mendalam pada ceritanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *