Selama periode 1959-1966, Indonesia mengalami tahap penting dalam perjalanan demokrasi negara tersebut yang dikenal sebagai periode “Demokrasi Terpimpin”.
Sejarah Kontekstual
Pada tahun 1959, Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengumumkan dekrit yang menetapkan kembali konstitusi 1945 serta menandai awal dari era “Demokrasi Terpimpin”. Era ini menandai transisi dari periode Demokrasi Liberal sebelumnya dan berlangsung hingga tahun 1966.
Ciri-ciri Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin adalah rezim politik yang didasarkan pada doktrin Soekarno yang disebut “Manipol-USDEK”. Dalam rezim ini, Soekarno memiliki peran penuh dalam politik dan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik dan menekankan pada pemimpin dalam menentukan arah kebijakan negara. Oleh karena itu, sistem dapat digambarkan lebih sebagai “otoritarianisme” dibandingkan “demokrasi” dalam arti tradisional.
Perkembangan Budaya Demokrasi
Selama jangka waktu ini, budaya demokrasi dalam masyarakat sempat mengalami dampak. Meskipun rezim Demokrasi Terpimpin memiliki unsur penekanan pada pemimpin satu orang, Soekarno juga sengaja memanfaatkan simbol-simbol budaya tradisional Indonesia dalam penyelenggaraan negara. Upaya ini diberikan untuk mendekatkan masa pemerintahan dengan masyarakat dan menciptakan suasana keterbukaan dalam masyarakat.
Akhir Era Demokrasi Terpimpin
Periode Demokrasi Terpimpin berakhir pada tahun 1966, ketika Soekarno diturunkan oleh Soeharto melalui Serangan Umum 1 Maret yang memicu transisi ke era “Orde Baru”. Periode ini kemudian diikuti oleh dramatis perubahan dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Dengan demikian, periode 1959-1966 dalam sejarah demokrasi Indonesia, dikenal sebagai periode “Demokrasi Terpimpin”. Meskipun bertentangan dengan konsep demokrasi tradisional, periode ini memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan budaya demokrasi di negara tersebut.