Memahami sesama, menerima perbedaan, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, merupakan kualitas inheren manusia yang membantu menjaga keberlangsungan hubungan sosial. Namun, sampai sejauh mana kita sebenarnya bisa memahami satu sama lain? Pertanyaan ini seringkali dilemparkan di tengah perbincangan tentang empati dan kepahaman antarmanusia. Ada suatu pandangan mengatakan, manusia tidak akan pernah bisa saling memahami jika mereka tidak merasakan penderitaan yang sama.
Pertanyaannya, apakah pandangan ini selalu benar?
Membedah Makna Penderitaan
Penderitaan secara umum diartikan sebagai perasaan kesakitan, baik secara fisik maupun emosional, sebagai hasil dari suatu peristiwa dalam kehidupan. Penderitaan sangat individualistis dan dapat berbeda dari satu orang ke orang lainnya – apa yang mungkin terasa menyakitkan bagi satu orang, mungkin tidak demikian bagi orang lain. Jadi, jika penderitaan tidak bisa diamati secara langsung dan diukur dengan ukuran objektif, bisakah kita benar-benar memahami penderitaan orang lain?
Empati: Melampaui Penderitaan yang Sama
Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain, meskipun kita belum pernah mengalami situasi yang sama. Dalam banyak kasus, inilah jembatan yang menghubungkan pemahaman antarmanusia, meskipun mereka mungkin belum pernah merasakan penderitaan yang sama.
Misalnya, kita mungkin tidak pernah mengalami kehilangan anggota keluarga, tetapi kita mungkin bisa merasakan sedih dan paham perasaan orang yang baru saja kehilangan orang yang dicintai. Kita tidak harus merasakan penderitaan yang sama untuk memahami dan merasakan emosi orang lain. Empati memungkinkan kita untuk melampaui batasan pengalaman pribadi dan merasakan emosi orang lain.
Penderitaan yang Sama: Meningkatkan Pemahaman?
Meskipun demikian, merasakan penderitaan yang sama dapat memperdalam pemahaman kita terhadap perasaan orang lain. Pengalaman penderitaan yang sama dapat membantu kita untuk lebih mendalam mengenali dan menghargai emosi orang lain dan memberikan kita perspektif batin yang lebih mendalam.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus mengalami penderitaan yang sama untuk bisa memahami satu sama lain. Lebih dari itu, pengertian dan belas kasih seringkali lebih penting daripada pengalaman bersama. Bahkan, dalam beberapa kasus, kemampuan untuk memposisikan diri dalam situasi orang lain – meski tanpa harus merasakan penderitaan yang sama – dapat mendorong tingkat pemahaman dan empati yang lebih besar.
Jadi, jawabannya apa? Apakah manusia tidak akan pernah bisa saling memahami jika mereka tidak merasakan penderitaan yang sama? Yang pasti, kita tidak harus mengalami penderitaan yang sama untuk bisa memahami dan merasakan emosi orang lain. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk merasakan, menjalin hubungan dengan, dan memahami pengalaman pribadi seseorang, termasuk penderitaan, melalui empati dan belas kasihan, tanpa harus merasakan penderitaan yang sama.