Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, pengetahuan dan pemahaman tentang konstitusi dan bagaimana lembaga pemerintahan beroperasi sangat penting. Salah satu pertanyaan yang cukup sering muncul adalah “Siapa yang meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden?”
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengerti terlebih dahulu mengenai struktur pemerintahan Indonesia dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR adalah lembaga tertinggi negara yang memiliki wewenang membuka sidang tahunan, mengubah UUD 1945, dan melantik presiden dan wakil presiden. Sedangkan sidang istimewa adalah salah satu bentuk pertemuan yang bisa diadakan MPR dalam kondisi tertentu, termasuk untuk memberikan pertanggungjawaban atau penjelasan presiden terkait kebijakan dan keputusan yang telah diambil.
Lantas, siapakah yang meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden?
Secara konstitusional, menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD (Undang-Undang MD3), pemohon sidang istimewa adalah minimal 1/3 jumlah anggota MPR. Jika jumlah anggota MPR adalah 711 orang, maka minimal 237 anggota harus mengajukan permohonan untuk mengadakan sidang istimewa.
Pada kenyataannya, pemohonan ini biasanya diajukan oleh partai-partai politik yang merasa kebijakan atau keputusan presiden berpotensi merugikan rakyat dan negara atau presiden tidak menjalankan amanat konstitusi dengan baik. Namun, pelaksanaan sidang istimewa bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan dukungan dan persetujuan mayoritas anggota MPR.
Dengan demikian, jika ada pertanyaan “Yang meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden adalah?” maka jawabannya adalah sebagian anggota MPR (paling sedikit sepertiga) yang biasanya mewakili kepentingan partai mereka masing-masing.
Jadi, jawabannya apa? Sebagian anggota MPR (paling sedikit sepertiga) yang biasanya mewakili kepentingan partai mereka masing-masing.