Sekolah

Analisis Atas Uraian: “Tanah Pertanian Harus Dikerjakan Secara Aktif oleh Pemiliknya” – Apakah Ada Pengecualian Dapat Dikerjakan oleh Orang Lain Berdasarakan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku?

×

Analisis Atas Uraian: “Tanah Pertanian Harus Dikerjakan Secara Aktif oleh Pemiliknya” – Apakah Ada Pengecualian Dapat Dikerjakan oleh Orang Lain Berdasarakan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku?

Sebarkan artikel ini

Istilah “Tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya” memberikan dugaan kuat bahwa pemilik tanah pertanian diwajibkan untuk mengolah tanah mereka secara pribadi. Namun, dalam kenyataannya, ada beberapa pengecualian yang diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di artikel ini, kita akan melihat pengecualian tersebut dan membicarakan peraturan apa yang memungkinkannya.

Pengecualian Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam hukum agraria di banyak negara, termasuk Indonesia, pemilik tanah pertanian biasanya diharapkan untuk mengolah tanah mereka sendiri untuk beberapa alasannya. Tujuannya adalah untuk memastikan penggunaan tanah yang optimal serta melakukan pembangunan berkelanjutan. Namun, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.

Praktik seperti sewa-menyewa tanah atau kerjasama pengusahaan tanah antara pemilik dan pihak lain telah umum terjadi. Misalnya, dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 21 ayat (1), dinyatakan bahwa “Pemegang hak atas tanah dan atau hak pengusahaan dan atau hak guna usaha dapat memberikan tanahnya menjadi obyek perjanjian dalam bentuk apa saja”. Dengan kata lain, pemilik tanah memiliki kebebasan untuk menyerahkan pengolahan tanahnya kepada orang lain melalui perjanjian tertentu.

Konsekuensi dari Pengecualian Ini

Namun, pengecualian ini memiliki beberapa konsekuensi. Pada dasarnya, seseorang hanya bisa memberikan hak untuk mengolah tanah miliknya kepada orang lain jika itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan itu tidak menciptakan bentuk penguasaan yang tidak sehat atas lahan.

Salah satu cara mencegah penguasaan yang tidak sehat adalah melalui pembatasan durasi perjanjian kerjasama. Misalnya, dalam peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996 Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (3) di Indonesia, disebutkan durasi maksimal sewa tanah terbatas hingga 20 tahun dan bisa diperpanjang.

Kesimpulan

Meskipun peraturan-peraturan ini bisa berbeda tergantung pada konteks hukum dan geografis negara, ide pengolahan aktif oleh pemilik tanah pertanian adalah pokok utama dalam setiap situasi. Dalam beberapa kasus, ada pengecualian yang memungkinkan tanah pertanian dikerjakan oleh pihak lain, namun ini harus dilakukan dalam koridor hukum dan dibatasi oleh berbagai mekanisme yang dirancang untuk mencegah penguasaan tanah secara semena-mena atau tidak adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *