Sekolah

Salah Satu Akad Transaksi Jual Beli Syariah adalah Akad Murabahah: Bagaimana Perlakuan Denda oleh Penjual Atas Keterlambatan Pembayaran Cicilan Murabahah?

×

Salah Satu Akad Transaksi Jual Beli Syariah adalah Akad Murabahah: Bagaimana Perlakuan Denda oleh Penjual Atas Keterlambatan Pembayaran Cicilan Murabahah?

Sebarkan artikel ini

Akad Murabahah adalah konsep transaksi yang sering digunakan dalam sistem perbankan dan keuangan syariah. Memahami konsep dan implementasinya dalam ranah hukum dan ekonomi syariah sangat penting, terutama ketika menghadapi persoalan denda atau penalti atas keterlambatan pembayaran cicilan.

Pengertian Akad Murabahah

Murabahah berasal dari kata rabbah yang berarti profit atau keuntungan. Secara ringkas, akad murabahah adalah akad jual beli dimana penjual menyebutkan biaya yang telah dikeluarkannya dalam memperoleh barang yang dijual serta keuntungan (margine) yang dikehendakinya. Dengan demikian, harga jual dalam akad murabahah adalah harga beli ditambah margine atau keuntungan.

Denda Atas Keterlambatan Pembayaran

Dalam konteks akad murabahah, keterlambatan pembayaran cicilan oleh pembeli dapat menimbulkan masalah. Namun, penagihan penalti atau denda atas keterlambatan pembayaran dalam sistem syariah harus berlangsung sesuai prinsip-prinsip syariah.

Menurut standar yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), penjual atau pihak kreditur tidak boleh menetapkan sanksi atau denda berupiah atas keterlambatan pembayaran. Ini dikarenakan hal tersebut akan dianggap sebagai riba, suatu praktek yang dilarang dalam hukum syariah.

Namun, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia pada fatwa No. 110/DSN-MUI/IX/2006 tentang “Denda (Ta’widh) yang diterapkan pada layanan dan produk syariah” membolehkan penyaluran denda atau Ta’widh. Akan tetapi, denda ini disyaratkan tidak masuk dalam pendapatan pihak bank atau financier, melainkan harus ditujukan untuk aktivitas sosial atau amal.

Ringkasan

Secara ringkas, dalam akad murabahah, penjual atau financier berhak memberikan denda atau Ta’widh untuk keterlambatan pembayaran. Namun, selayaknya hal tersebut tidak berarti sebagai pendapatan bagi penjual atau financier, melainkan diarahkan untuk kegiatan sosial dan amal. Implementasi ini tentunya merujuk pada panduan dan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai lembaga yang berwenang dalam menginterpretasikan hukum syariah dalam konteks bisnis dan perekonomian di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *