Prasejarah seringkali digunakan sebagai istilah untuk masa-masa dimana manusia belum menciptakan tulisan, dan sebagai sebuah pemisah antara apa yang kita kenal sebagai “sejarah” (era dimana manusia mencatat kejadian) dan waktu sebelumnya. Namun, beberapa ekspertis belakangan ini merasa bahwa penggunaan istilah prasejarah kurang tepat karena beberapa alasan.
Menafikan Kemampuan Komunikasi Non-Tulisan
Pertama, penggunaan istilah prasejarah cenderung mendiskreditkan bentuk komunikasi non-tulisan yang ada dalam masyarakat manusia awal. Banyak masyarakat yang tergolong ‘prasejarah’ pada dasarnya memiliki metode komunikasi yang kompleks dan efektif, baik melalui cerita rakyat, tradisi lisan, simbol, ritual, dan ekspresi seni. Dengan kata lain, meski mereka tidak memiliki tulisan sebagaimana kita mengerti sekarang, mereka tetap memiliki cara untuk mencatat dan meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai budaya mereka.
Mengabaikan Pentingnya Arkeologi dan Antropologi
Kedua, istilah prasejarah memberikan implikasi bahwa cara terbaik untuk mengetahui masa lalu adalah melalui catatan-catatan tertulis. Ini kemudian mengabaikan pentingnya disiplin-disiplin ilmu lain seperti arkeologi dan antropologi, yang mencoba untuk memahami masa lalu manusia melalui peninggalan dan artefak fisik, praktek dan tradisi budaya, serta pengamatan langsung terhadap masyarakat-masyarakat primitif seiring berjalannya waktu.
Mempersempit Pandangan tentang Sejarah
Ketiga, istilah prasejarah cenderung mempersempit pandangan kita tentang sejarah. Sejarah tidak hanya mengenai proses pencatatan kejadian-kejadian. Ini adalah tentang bagaimana kita sebagai manusia berkembang dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Oleh karena itu, perlu memasukkan berbagai bentuk pengetahuan manusia (seperti seni, musik, cerita, dan ritual) ke dalam konteks sejarah, bukan hanya berfokus pada tulisan saja.
Kesimpulan
Untuk alasan ini, menjadi semakin jelas bahwa penggunaan istilah prasejarah cukup sempit dan terlalu berpusat pada tulisan. Dalam dunia yang semakin beragam dan berinterdisipliner ini, mungkin saatnya untuk mempertimbangkan ulang bagaimana kita mendefinisikan dan memahami sejarah, dan memperlakukan semua sumber pengetahuan manusia dengan harganya. Sejarah, dalam arti yang paling luas, adalah cerita manusia, dan cerita tersebut layak diceritakan dengan cara yang lebih inklusif dan beragam. Sehingga, guna memahami masa lalu dan perkembangan budaya manusia yang sebenarnya, perlu melihat tidak hanya tulisan, tetapi juga artefak, tradisi lisan, dan berbagai bentuk komunikasi dan ekspresi lainnya.