Pada abad ketujuh, dunia Islam mengalami periode getir politik dan konflik, di mana dua figur kuat, Hasan bin Ali dan Muawiyah, berkompetisi untuk kendali atas pemerintahan. Namun, ada momen penting dalam sejarah Islam ketika kedua pemimpin ini mencapai kesepakatan penting.
Hasan bin Ali adalah cucu Nabi Muhammad SAW dan putra dari Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dari penerus Nabi Muhammad. Ia memiliki pandangan politik yang merakyat dan menekankan pentingnya sentimen umat Islam dalam proses pemilihan pemimpin.
Sementara Muawiyah adalah Gubernur Suriah dan pemimpin Banu Umayyah. Dikenal karena kebijakannya yang otoriter, ia berusaha mengamankan kekuasaan absolut atas dunia Islam.
Kesepakatan Hasan dan Muawiyah
Perang Jamal dan Perang Siffin telah menciptakan penderitaan dan bencana besar bagi umat Islam. Untuk menghentikan pertumpahan darah lebih lanjut, Hasan bin Ali setuju menyepakati perdamaian dengan Muawiyah pada tahun 661 M. Menurut kesepakatan itu, Hasan akan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan beberapa syarat, yang paling penting adalah bahwa setelah kematian Muawiyah, kekuasaan harus dikembalikan kepada umat Islam.
Tujuan Kesepakatan
Harapan utama dari kesepakatan ini adalah menjaga stabilitas dan perdamaian dalam komunitas Islam. Hasan bin Ali berkeinginan untuk mencegah konflik lebih lanjut dan pertumpahan darah di antara Muslim. Ini menunjukkan bahwa prioritas utamanya adalah kesejahteraan umat, bukan kekuasaan pribadi.
Selain itu, kesepakatan ini secara signifikan mengarah pada konsep pemilihan pemimpin oleh umat Islam sendiri. Hasan ingin memastikan bahwa pemerintahan tidak berpusat pada satu keluarga atau dinasti, tetapi harus berada di tangan rakyat.
Penutup
Meski kesepakatan ini gagal diterapkan sepenuhnya setelah kematian Muawiyah – karena putranya, Yazid, mengambil alih kekuasaan – tetapi penting untuk diingat bahwa kesepakatan ini menekankan pentingnya tata kelola yang demokratis dan inklusif dalam Islam. Hasan bin Ali dan Muawiyah, meskipun berbeda dalam banyak hal, memiliki visi bersama untuk perdamaian dan kesejahteraan umat Islam. Arti penting dari kesepakatan ini tetap relevan hingga hari ini sebagaimana intinya, bahwa kekuasaan harus ada di tangan umat, bukan dikendalikan oleh segelintir elite.