Perjanjian merupakan instrumen penting dalam mendukung keberlangsungan usaha dalam bermasyarakat. Baik individu maupun entitas bisnis, seperti dalam kasus Dawanto dan PT DKT, sering kali memasuki berbagai jenis perjanjian untuk menyelesaikan berbagai transaksi bisnis. Namun, pertanyaan tentang legalitas perjanjian terjadi ketika salah satu pihak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Konteks dan Perundangan di Indonesia
Di Indonesia, legalitas perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya dalam Pasal 1320, yang menyebutkan empat syarat sahnya suatu perjanjian: ada suatu hal yang menjadi pokok perjanjian (kesepakatan), kesanggupan untuk membuat suatu perjanjian, adanya suatu sebab yang halal, dan mengenai suatu hal (obyek) yang halal dan tegas.
Jika dilihat dari pertanyaan awal, perjanjian antara Dawanto dan PT DKT mungkin telah melanggar salah satu syarat tersebut, yaitu ‘adanya suatu sebab yang halal’. Sebab adalah alasan para pihak untuk membuat perjanjian. Sebabnya harus halal, artinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas dan kesusilaan, serta ketertiban umum.
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum, berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, adalah suatu perbuatan yang merugikan orang lain, dengan kewajiban bagi yang bersalah untuk mengganti kerugian tersebut. Dalam konteks perjanjian, perbuatan melawan hukum bisa saja terjadi dalam bentuk manipulasi, penipuan, bahkan tindakan ilegal lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau merugikan pihak lain.
Implikasi pada Perjanjian Dawanto dan PT DKT
Jika benar terdapat perbuatan melawan hukum dalam perjanjian antara Dawanto dan PT DKT, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat ditegakkan.
Kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut harus diganti oleh pihak yang melanggar hukum tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Kesimpulan
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa perjanjian yang berbasis pada perbuatan melawan hukum tidak hanya tidak memiliki legalitas, tetapi juga merugikan bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memastikan bahwa setiap perjanjian didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang sah dan etis.