Sosial

Perlawanan Pattimura di Maluku pada Tahun 1817 pada Dasarnya Merupakan Bentuk Reaksi Atas Kebijakan

×

Perlawanan Pattimura di Maluku pada Tahun 1817 pada Dasarnya Merupakan Bentuk Reaksi Atas Kebijakan

Sebarkan artikel ini

Perlawanan Pattimura di Maluku pada tahun 1817 dipandang sebagai salah satu perlawanan terpenting dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan penjajah. Perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matulessy, yang lebih dikenal dengan nama Pattimura. Sebagai seorang pejuang, Pattimura menjadi simbol perjuangan dan pahlawan Nasional Indonesia karena kegigihan dan keberaniannya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan.

Penyebab keganasan perlawanan Pattimura terhadap penjajah tidak hanya karena masalah penindasan dan penjajahan, melainkan juga sebagai bentuk reaksi dari masyarakat setempat terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Berikut beberapa kebijakan yang menjadi penyebab perlawanan Pattimura.

1. Kebijakan Monopoli Dagang

Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda telah menerapkan sistem monopoli dagang yang sangat merugikan rakyat Indonesia, khususnya di Maluku. Monopoli ini menciptakan sistem perdagangan yang tidak adil dan merugikan masyarakat lokal. Kebijakan monopoli ini telah mengeksploitasi kekayaan alam Maluku seperti rempah-rempah dan hasil bumi lainnya yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat setempat.

2. Perubahan Tata Negara dan Kepemimpinan

Tahun 1817 menandai bagi Belanda sebagai awal penerapan kebijakan ‘Tata Negara 1814’ yang ditandai dengan diberlakukannya Kontrak Panjar di Maluku. Dalam kontrak ini, pemerintah Belanda memberikan kontrak kepada pemilik tanah atau pengusaha untuk menyewa tanah atau membeli hasil bumi yang kemudian hanya boleh dijual kepada penjajah. Akibatnya, keuntungan perdagangan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu dan perekonomian masyarakat setempat menjadi semakin tertekan.

3. Perlakuan Diskriminatif dan Ketidakadilan

Perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Maluku dari pemerintah kolonial Belanda menjadi salah satu pemicu kemarahan dan keinginan untuk memberontak. Pemerintah Belanda saat itu dikenal karena pola sikap kolonial yang mengutamakan kepentingan mereka tanpa mempedulikan dan menghormati hak serta kepentingan masyarakat setempat.

4. Kebijakan Pengekangan dan Perampasan Hak Masyarakat

Pemerintah Belanda pada masa itu juga menerapkan kebijakan pengekangan dan perampasan hak masyarakat setempat. Misalnya, bekas pejuang yang disebut sebagai mantan perang juga diperlakukan secara tidak adil. Mereka kehilangan hak-hak mereka, seperti hak kerja, status sosial, kehormatan, dan lain-lain. Hal ini semakin menambah beban kehidupan masyarakat setempat, khususnya Maluku.

Perlawanan Pattimura di Maluku pada tahun 1817 tidak dapat dilihat hanya sebagai reaksi terhadap salah satu kebijakan penjajahan saja. Perlawanan ini lebih merupakan simbol perjuangan manusia yang menentang dominasi serta penindasan dan berjuang untuk keadilan serta kemerdekaan. Nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan oleh Pattimura tetap relevan dengan perjuangan bangsa Indonesia hingga saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *