Di akhir abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh, Belanda memperkenalkan apa yang dikenal sebagai politik etis sebagai kebijakan baru mereka di Hindia Belanda. Langkah ini diambil sebagai respon terhadap kritik terhadap penjajahan brutal dan eksploitasi yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi kepentingan ekonomi Belanda. Namun, pelaksanaan politik etis ini bukanlah tanpa perlawanan. Salah satu pengkritik paling vokal dan terkenal adalah Ernest Douwes Dekker.
Kritik Ernest Douwes Dekker
Kritik Dekker terhadap politik etis bisa disimpulkan dalam beberapa poin utama.
1. Eksploitasi Ekonomi
Ernest merasa bahwa politik etis hanya merupakan upaya untuk melegitimasi eksploitasi ekonomi Belanda di Hindia. Dia menuduh bahwa kebijakan ini tidak lebih dari upaya untuk memperbaharui dan memperluas pengaruh dan kekayaan Belanda di wilayah tersebut.
2. Absennya Pemerintahan Sendiri
Dekker sangat meragukan manfaat politik etis selama pemerintahan sendiri absen dan penduduk setempat dilucuti hak mereka sebagai warga negara. Dia meyakini bahwa aspek-aspek kunci dari politik etis – seperti pendidikan dan pembangunan infrastruktur – tidak bisa terwujud tanpa keterlibatan dan pengenalan penduduk lokal terhadap prinsip-prinsip pemerintahan demokratis.
3. Kurangnya Persamaan
Ernest melihat politik etis sebagai tidak adil karena tidak memberikan hak dan kebebasan yang sama kepada penduduk asli seperti yang diberikan kepada rakyat Belanda. Oleh karena itu, ia mengkritiknya karena bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan dan keadilan.
Kesimpulan
Perlawanan Ernest Douwes Dekker terhadap politik etis Belanda membuka mata banyak orang terhadap keluasan dampak kolonialisme dan pengeksploitasian yang diselubungi di balik retorika kebijakan “etis”. Penentangannya tetap relevan hingga hari ini, karena dunia terus berjuang dengan dampak penjajahan dan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat dapat mencapai keadilan dan kesetaraan.