Pada zaman Rasulullah SAW, Mekah dan Madinah adalah dua kota penting yang memiliki peran pusat dalam perkembangan Islam. Keduanya memiliki latar belakang, budaya, dan sejarah yang berbeda, tetapi pada akhirnya menjadi bagian dari penyebaran Islam yang sama. Dalam proses tersebut, ada banyak konflik dan perbedaan yang terjadi. Salah satunya adalah masalah para pengungsi atau pelarian dari Mekah ke Madinah. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, kita perlu melihat kembali ke sejarah.
Konteks Sejarah
Diawali dengan penindasan yang dialami oleh Muslimin di Mekah, mereka mencari perlindungan dengan melarikan diri. Tujuan pelarian utama mereka adalah Madinah, kota yang jauh lebih ramah dan toleran terhadap Islam. Proses ini disebut hijrah dan diakui dalam sejarah Islam sebagai titik balik penting dalam perkembangan agama ini.
Hudaibiyah dan Kesepakatan yang Dicapai
Pada tahun 628 M, Rasulullah SAW beserta para pengikutnya melakukan perjalanan ke Mekah dengan tujuan melaksanakan Umrah. Namun, mereka ditolak oleh kaum Quraisy dan terpaksa menghentikan perjalanan mereka di Hudaibiyah. Di sini, terjadi perundingan antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah SAW dan kaum Quraisy. Perundingan ini membuahkan hasil yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah.
Ada banyak ketentuan dalam perjanjian ini, tetapi yang paling relevan dengan pertanyaan ini adalah tentang bagaimana menangani orang-orang Mekah yang melarikan diri. Menurut ketentuan ini, jika seorang Muslim melarikan diri dari Mekah ke Madinah, mereka harus dikembalikan ke Mekah. Sebaliknya, jika seorang non-Muslim melarikan diri dari Madinah ke Mekah, mereka tidak perlu dikembalikan.
Perjanjian ini pada awalnya dapat dirasakan memberatkan bagi kaum Muslimin. Namun, dalam pandangan yang lebih luas, perjanjian tersebut berhasil membuka ruang dialog dan perdamaian yang akhirnya membuat kaum Quraisy memperhatikan kekuatan dan penyebaran Islam.
Rangkuman
Dalam rangka menyeimbangkan hubungan antara Mekah dan Madinah saat itu, kesepakatan atau perjanjian di Hudaibiyah dicapai. Meski terkesan memberatkan, namun perjanjian ini membuka jalan bagi perdamaian dan penyebaran Islam yang lebih luas. Pengungsi yang lari dari penindasan di Mekah menjadi saksi bagi keberhasilan proses diplomasi ini.