Dalam konteks pra-kemerdekaan Indonesia, peran Walisongo dalam membangun masyarakat yang beragama dan toleran tak bisa diabaikan. Salah satunya adalah Sunan Kudus, yang dengan cerdas dan arif menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat dalam proses penyebaran Islam.
Pengertian Dakwah dan Toleransi
Sebelum kita memahami bentuk toleransi yang diterapkan oleh Sunan Kudus, penting untuk memahami apa yang kita maksud dengan dakwah dan toleransi.
Dakwah merujuk pada upaya menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam. Ini bisa dalam bentuk kata-kata, ajaran, atau juga bisa melalui pencontohan perilaku dan etika. Sementara itu, toleransi adalah sikap menghormati keyakinan, ideologi, atau agama orang lain, meski berbeda atau bertentangan dengan keyakinan kita sendiri.
Toleransi Dakwah Sunan Kudus
Sunan Kudus, atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Ja’far Shadiq, terkenal dengan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa melalui pendekatan yang penuh toleransi dan hormat terhadap budaya dan agama setempat.
Toleransi Terhadap Tradisi Lokal
Sunan Kudus berusaha untuk tidak mengubah atau membuang semena-mena tradisi lokal yang telah ada sebelum datangnya Islam. Dia tidak memaksa masyarakat setempat untuk mengubah tatanan hidup mereka. Sebaliknya, Sunan Kudus memadukan ajaran Islam dengan kebiasaan-kebiasaan lokal. Ia memanfaatkan tradisi dan budaya setempat sebagai media untuk berdakwah. Salah satu contohnya adalah Wayang Kulit. Sunan Kudus memasukkan ajaran Islam ke dalam cerita dan alur dalam pertunjukkan Wayang Kulit.
Toleransi Dalam Bentuk Sunan Kudus
Untuk lebih memahami konsep toleransi yang dibawa oleh Sunan Kudus, kita perlu mempertimbangkan beberapa contoh spesifik berikut ini:
Penyembelihan Kerbau
Di Kudus, sangat populer ritual penyembelihan kerbau sebagai upacara adat. Agar tidak langsung menentang dan menghapuskan ritual ini, Sunan Kudus mengubahnya dengan memberi pengertian bahwa kerbau yang disembelih adalah simbol hawa nafsu.
Larangan Mengonsumsi Babi
Sunan Kudus melarang umat Islamnya untuk mengonsumsi babi, namun dia tidak melarang masyarakat non-Islam yang biasa mengonsumsi babi. Hal ini menunjukkan toleransi dan penghargaannya terhadap keyakinan dan tradisi masyarakat non-Muslim.
Penggunaan Bahasa Jawa
Sunan Kudus menggunakan bahasa Jawa dalam berdakwahnya, yang merupakan bahasa lokal masyarakat setempat. Baginya, bahasa adalah jembatan komunikasi yang efektif. Dalam prosesnya memberikan pengajaran Islam, dia menggunakan bahasa yang sama dengan masyarakat sekitarnya, yang jelas menunjukkan rasa hormat dan penghargaan terhadap budaya lokal.
Sebagai penutup, penting untuk dicatat bahwa sikap toleransi dan menghargai keberagaman ini yang membuat proses dakwah Sunan Kudus berhasil dan berjalan dengan lancar. Kita bisa mengambil pelajaran penting dari metode dakwahnya, bahwa toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan adalah kunci dalam membangun masyarakat yang harmonis.