Hakim, sebagai pejabat yang menjalankan fungsi yudikatif dalam sistem hukum, memang memiliki peran penting dalam penegakan hukum. Pada situasi tertentu, mereka mungkin dihadapkan pada kasus-kasus yang memerlukan interpretasi atau penafsiran hukum. Tidak jarang, mereka juga diposisikan pada situasi di mana terdapat kekosongan hukum. Maka, apakah hakim bisa mengisi kekosongan dan menafsirkan hukum?
Menjawab pertanyaan ini memerlukan pemahaman tentang peran hakim, hukum dan praktik penegakan hukum. Namun, secara singkat, jawabannya adalah ya, hakim memang memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan hukum, dan sampai batas tertentu, mengisi kekosongan hukum.
Hakim dan Interpretasi Hukum
Penafsiran hukum adalah bagian integral dari pekerjaan hakim. Sesuai dengan berbagai sumber hukum, termasuk KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pasal 1 butir 10 di Indonesia, hakim diharuskan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum yang ada dan menjelaskan atau menafsirkan artinya.
Hakim tidak hanya bertugas menggunakan hukum yang ada untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, mereka juga harus mampu menjelaskan mengapa suatu perkara dikategorikan sebagai pelanggaran hukum tertentu. Itulah mengapa penafsiran hukum menjadi bagian penting dari tugas mereka.
Hakim Mengisi Kekosongan Hukum
Hakim juga berperan dalam mengisi kekosongan hukum. Menurut teks Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi: “Dalam hal undang-undang tidak mengatur, Hakim wajib memutus berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat dan menurut hati nurani keadilan.” Artinya, ketika suatu kasus turun ke pengadilan dan tidak ada hukum tertentu yang secara spesifik mengatur kasus tersebut, hakim mempunyai wewenang untuk memutuskannya berdasarkan hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat serta hati nurani keadilan.
Keputusan hakim ini akan menjadi yurisprudensi, yang bisa dijadikan acuan dalam memutuskan kasus serupa di masa mendatang. Dengan cara ini, hakim bisa membantu mengisi kekosongan hukum.
Namun, patut diingat bahwa, meskipun hakim mempunyai hak untuk mengisi kekosongan hukum, ini bukan berarti hakim memiliki wewenang untuk menciptakan hukum. Mereka tidak bisa membuat keputusan yang bertentangan dengan hukum yang ada atau merubah hukum yang digunakan sebagai dasar penyelesaian perkara.
Kesimpulan
Hakim memang memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum dan mengisi kekosongan hukum. Namun, kewenangan ini bukan berarti mengizinkan mereka untuk menciptakan hukum. Sebaliknya, hakim harus selalu mengacu pada hukum dan ketentuan yang ada untuk memutuskan suatu perkara.