Pantun adalah bentuk sastra lisan yang selalu menghiasi percakapan orang Melayu tradisional. Pantun biasanya terdiri dari empat baris dan memiliki pola sajak tertentu. Pantun yang akan dianalisis dalam artikel ini adalah “Kayu Cendana Diatas Batu Sudah Diikat Dibawa Pulang Adat Dunia Memang Begitu Benda yang Buruk Memang Terbuang”.
Struktur Pantun
Pantun pada umumnya memiliki struktur tersendiri, yaitu bagian sampiran (dua baris pertama) dan bagian isi (dua baris terakhir). Sampiran adalah bait awal yang di dalamnya biasanya tidak terdapat makna, sedangkan isi adalah bagian yang mengandung maksud dan tujuan dari pantun itu sendiri.
Dalam pantun ini:
- Sampiran: “Kayu cendana diatas batu / sudah diikat dibawa pulang”
- Isi: “Adat dunia memang begitu / benda yang buruk memang terbuang”
Pola Sajak Pantun
Penting untuk dipahami bahwa pantun memiliki pola sajak atau rima yang biasanya diidentifikasi dalam notasi a-b a-b atau a-a-a-a. Dalam kasus pantun ini, pola sajaknya adalah a-a-a-a, yang berarti baris pertama berima dengan baris kedua, dan baris ketiga berima dengan baris keempat.
Jadi dalam pantun “Kayu Cendana Diatas Batu Sudah Diikat Dibawa Pulang Adat Dunia Memang Begitu Benda yang Buruk Memang Terbuang”, sajak dari pantun tersebut adalah pulang-begitu.
Analisis Makna
Pantun ini tampaknya bicara tentang sikap hidup manusia terhadap hal-hal yang baik dan yang buruk. ‘Kayu cendana diatas batu’ bisa diibaratkan sebagai sesuatu berharga, sementara ‘sudah diikat dibawa pulang’ menunjukkan tindakan mengambil dan menyimpan apa yang berharga. Lalu dalam ‘adat dunia memang begitu / benda yang buruk memang terbuang’, pantun ini mengatakan bahwa inilah cara dunia bekerja – segala yang baik dihargai dan yang buruk dibuang.
Intinya, pantun ini dapat kita interpretasikan sebagai pesan moral bahwa dalam kehidupan ini, kita sebaiknya mengambil dan mempertahankan hal-hal yang baik dan membuang yang buruk. Itulah cara dunia beroperasi dan itulah cara kita harus beroperasi juga.