Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila, yang memiliki lima sila dan sila pertama adalah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Badan ini telah dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa. Dalam konteks ini, kita akan melihat bagaimana para pendiri bangsa memandang frase ketuhanan ini, khususnya berkenaan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Para pendiri negara Indonesia adalah grup yang beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari agama, etnis, sampai filosofi politik. Dalam pencarian pemahaman tentang frase “ketuhanan” dalam Pancasila, kita dapat melihat pandangan dua tokoh penting: Soekarno dan Mohammad Hatta.
Soekarno, sebagai salah satu pendiri bangsa dan yang berperan besar dalam merumuskan Pancasila, melihat “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai penegasan atas hak individu untuk menganut agama dan beribadat sesuai ajaran agama masing-masing. Bagi Soekarno, “ketuhanan” berarti pengakuan terhadap kebebasan beragama. Dalam kaitannya dengan syariat Islam, Soekarno memandang bahwa menjalankan syariat Islam adalah kewajiban bagi pemeluknya namun tidak boleh dipaksakan terhadap orang lain yang tidak memeluknya. Ini bertujuan untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama yang berbeda.
Mohammad Hatta, pendiri bangsa yang lainnya, memiliki pandangan yang serupa dengan Soekarno. Hatta menyatakan bahwa “Ketuhanan yang Maha Esa” mencakup keyakinan dalam satu Tuhan dan penghormatan terhadap kaum yang berbeda agama. Hatta menganggap Islam sebagai agama yang menghargai kebebasan individu dalam beragama, dan berpendapat bahwa dalam konteks Indonesia, menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya harus dilakukan sejauh tidak mengganggu kepercayaan dan praktek agama lain.
Dua pandangan dari para pendiri bangsa ini menegaskan bahwa para pendiri negara Indonesia memandang pentingnya toleransi dan keharmonisan antar pemeluk agama yang berbeda.
Kedua pandangan tersebut juga menghargai hak pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariatnya. Baik Soekarno maupun Mohamad Hatta, keduanya memandang bahwa pemeluk agama Islam harus menjalankan syariat Islam sebagai bagian dari praktik agamanya. Mereka hanya berhati-hati agar pemahaman ini tidak memaksa orang lain yang bukan pemeluk Islam untuk mengikuti syariatnya, karena itu bertentangan dengan semangat toleransi dan kebebasan beragama yang ada dalam Pancasila.
Jadi, jawabannya apa? Para pendiri bangsa Indonesia sejatinya menghargai dan mendukung hak pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat mereka. Namun, mereka juga ingin memastikan bahwa praktek-praktek ini dilakukan dalam kerangka yang menghormati hak dan kebebasan orang lain, khususnya dalam konteks beragama. Ini sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menekankan pada “Ketuhanan yang Maha Esa”.