Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah salah satu elemen penting dalam sistem legislatif sebuah negara. RUU mencakup peraturan baru yang diusulkan dan berpotensi menjadi undang-undang apabila disetujui oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, bagaimana jika RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden tetapi tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari sejak disetujuinya RUU? Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami lebih detail proses legislasi di Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), apabila Presiden tidak memberikan pengesahan dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut diajukan, maka RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang dan diumumkan oleh DPR. Penegasan ini merupakan salah satu mekanisme konstitusional yang memastikan RUU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak ditahan atau terlantarkan.
Hal ini sejalan dengan prinsip check and balances dalam sistem demokrasi, dimana eksekutif (presiden) dan legistatif (DPR) saling memeriksa dan menyeimbangkan. Mekanisme ini menegaskan bahwa persetujuan presiden tidaklah absolut dalam membuat undang-undang dan parlemen memiliki hak untuk menerbitkannya.
Dengan demikian, berdasarkan UUD 1945, jika rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari, maka rancangan tersebut akan secara otomatis menjadi undang-undang dan diumumkan oleh DPR. Ini memastikan bahwa setiap RUU yang telah melalui proses demokratis yang panjang dan diatur dalam sistem ketatanegaraan tidak mengalami kemacetan dalam proses legislatif.
Namun demikian, perlu diingat bahwa proses pembentukan undang-undang tidak berhenti pada tahap pengesahan. Undang-undang tersebut harus dikomunikasikan kepada masyarakat secara efektif dan ditegakkan secara adil dan transparan untuk memastikan efektifitas dan legitimasi undang-undang tersebut.