Dalam melaksanakan tugasnya, hakim menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Salah satunya adalah kekosongan hukum, saat suatu permasalahan belum diatur secara jelas dalam hukum yang ada. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hakim dapat mengisi kekosongan hukum dan melakukan penafsiran hukum atau interpretasi hukum dalam memutuskan kasus?
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini, kita perlu menelaah fungsi dan peran hakim dalam sistem hukum Indonesia dan peraturan hukum yang relevan.
Sejatinya, Hakim di Indonesia memegang peran penting sebagai penegak hukum dan keadilan. Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim ditempatkan sebagai lembaga yang mandiri dan bebas agar dapat melaksanakan tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman secara adil. Hakim dituntut untuk tidak hanya pasif menerima dan menggunakan hukum yang ada, tapi juga harus aktif mencari dan menemukan hukum.
Berbicara tentang mengisi kekosongan hukum, Hakim memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa “Hakim wajib menemukan hukum bagi setiap peristiwa hukum yang konkrit dan individual serta memutus menurut hukum.” Dengan kata lain, hakim dapat dan berwenang melakukan penafsiran hukum atau interpretasi hukum dan ‘mengisi kekosongan hukum’ dalam menangani suatu kasus.
Namun, penafsiran hukum oleh hakim tidak dilakukan secara sembarangan. Hakim harus berpegang teguh pada asas legalitas dan kepastian hukum. Penafsiran hukum haruslah berbasis pada hukum yang ada dan tidak boleh merugikan hak-hak pihak yang bersengketa.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa meski terdapat kekosongan hukum, dan peran serta fungsi Hakim mencakup kewenangan untuk melaksanakan penafsiran hukum atau interpretasi hukum. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari tugas dan fungsinya dalam menegakkan hukum dan keadilan.