Ilmu

Dapatkah Hakim Mengisi Kekosongan Hukum dan Melakukan Penafsiran Hukum? Sertakan Alasan dan Dasar Hukumnya

×

Dapatkah Hakim Mengisi Kekosongan Hukum dan Melakukan Penafsiran Hukum? Sertakan Alasan dan Dasar Hukumnya

Sebarkan artikel ini

Kekosongan hukum adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat aturan hukum yang mengatur masalah atau permasalahan tertentu. Kondisi ini dapat menyulitkan penegakan hukum, khususnya jika terdapat permasalahan atau kasus yang harus diputuskan oleh hakim. Lalu, jika terjadi kekosongan hukum, bisa tidak hakim mengisi kekosongan hukum dan melakukan penafsiran hukum?

Peran Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia, hakim memiliki peran yang sangat sentral. Hakim merupakan penegak supremasi hukum dan pengawal konstitusionalitas. Tugas hakim adalah memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum yang berlaku. Namun, yang menjadi persoalan adalah apa yang harus dilakukan hakim bila terdapat kekosongan hukum.

Hakim dan Kekosongan Hukum

Dalam konteks kekosongan hukum, hakim sebenarnya memiliki kewenangan untuk “mengisi” kekosongan tersebut melalui penafsiran atau interpretasi hukum. Ini adalah bagian dari prinsip ius curia novit yang berarti “pengadilan mengenal hukum”. Hakim diharapkan mampu memahami dan menerjemahkan hukum dengan keadilan berdasarkan keyakinannya atas kebenaran, tidak hanya berdasarkan teks hukum yang ada saja.

Namun, perlu diketahui bahwa kemampuan hakim untuk ‘mengisi’ kekosongan hukum ini bukan berarti hakim memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum. Hakim harus selalu berpegang pada hukum yang ada dan melakukan penafsiran atau interpretasi tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan hukum.

Dasar Hukum

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Hakim wajib meresap dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta memadukannya dalam penemuan hukum guna menyelesaikan perkara.”

Dengan kata lain, hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran atau interpretasi hukum, termasuk dalam kondisi kekosongan hukum demi mencapai tujuan keadilan. Tentunya, hal ini harus dilakukan dengan tetap menerapkan etika, nilai-nilai moral, serta pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum.

Dengan demikian, hakim dapat dan berhak ‘mengisi’ kekosongan hukum dan melakukan penafsiran atau interpretasi hukum. Akan tetapi, hal ini tetap harus dilakukan dengan berpedoman pada aturan, norma, dan prinsip hukum yang berlaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *