Di benua Afrika, Afrika Selatan menjadi bukti nyata bagaimana perbedaan bisa menjadi basis dari suatu konflik politik. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan ras, yang mendasari konflik yang terkenal dengan sebutan ‘politik apartheid’.
Politik apartheid adalah sebuah kebijakan rasial yang diterapkan oleh pemerintah Afrika Selatan pada tahun 1948 sampai dengan awal 1990-an. Kebijakan ini merupakan sebuah potret nyata bagaimana sebuah politik bisa diterapkan berbasis perbedaan-perbedaan, dengan sentuhan rasa superioritas dan segregasi ras yang kuat.
Apartheid berasal dari bahasa Afrikaan yang berarti ‘keadaan terpisah’. Dalam implementasinya, kebijakan ini memisahkan penduduk berdasarkan ras mereka. Keadaan ini menjadi sangat absurb dan dianggap tak manusiawi, karena membatasi hak dan kebebasan seseorang hanya berdasarkan warna kulit.
Ras kulit putih, yang merupakan minoritas dalam populasi, mendominasi ras lain yang merupakan mayoritas dalam hal politik, perekonomian, dan sosial. Meskipun pernah ada perlawanan dan protes dari warga berkulit hitam dan kelompok internasional, namun pemerintah Afrika Selatan saat itu tetap menerapkan kebijakan ini.
Bagian tergelap dari politik apartheid ini adalah penerapan hukum yang tidak adil dan penegakan yang kejam terhadap orang-orang berkulit hitam. Mereka dipaksa hidup di daerah yang rata-rata kumuh, kehilangan hak politik mereka, dan sering kali menjadi korban kekerasan fisik serta psikologis.
Akhirnya, setelah tekanan dalam dan luar negeri yang kuat, politik apartheid ini mulai didekonstruksi pada akhir 1980-an dan resmi berakhir pada awal 1990-an. Namun, dampaknya masih dirasakan hingga hari ini, membentuk stigma dan ketegangan rasial yang masih ada di Afrika Selatan.
Karena itu, politik apartheid ini menjadi bukti konkrit dari bagaimana perbedaan, dalam hal ini perbedaan ras, bisa menjadi basis dan pemicu adanya konflik politik. Dan, bagaimana perasaan superioritas dan segregasi yang mendasari kebijakan tersebut, bisa membawa dampak negatif hingga jangka panjang.