Pasca meraih kemerdekaan, Indonesia mengalami berbagai dinamika dalam kehidupan politiknya. Salah satu era dalam politik indonesia yang cukup bemakna adalah masa awal kemerdekaan yang disebut dengan era demokrasi liberal. Pada masa ini, pemerintahan Republik Indonesia merupakan sistem parlementer, dimana kedaulatan rakyat disalurkan melalui wakil-wakil partai politik yang menduduki parlemen. Salah satu karakteristik pemerintahan pada periode ini adalah seringnya terjadi pergantian kabinet.
Pelaksanaan Demokrasi Liberal
Demokrasi Liberal (1950-1959) merupakan periode dimana sistem pemerintahan Indonesia berubah dari sistem presidensial menjadi parlementer, mengikuti pola yang umum digunakan negara barat kala itu. Sistem ini mengharuskan penguasa eksekutif mengambil dukungan mayoritas di parlemen, yang notabene berisikan wakil-wakil partai politik.
Wakil-wakil ini memiliki tugas untuk mewakili aspirasi rakyat serta mengevaluasi kinerja pemerintahan. Dengan sistem demokrasi liberal ini, maka rakyat memiliki peran penting dalam mengambil kebijakan-kebijakan negara.
Dampak terhadap Stabilitas Kabinet
Namun, sistem demokrasi liberal ini tidak berjalan mulus. Pada faktanya, pergantian kabinet menjadi suatu hal yang sering terjadi. Hal ini dikarenakan sifat dari parlemen di Indonesia yang multi-partai, yaitu terdapat banyak partai politik dengan beragam ideologi dan tujuan politik yang berbeda.
Pada prinsipnya, sistem parlementer memerlukan suatu kabinet yang mampu mendapatkan dukungan mayoritas dalam parlemen. Apabila suatu kabinet tidak dapat mempertahankan dukungan tersebut, maka parlemen berhak memberhentikannya melalui mosi tidak percaya, yang berakibat pada jatuhnya kabinet. Hal ini yang menyebabkan seringnya pergantian kabinet di Indonesia masa demokrasi liberal.
Salah satu contoh terjadinya pergantian kabinet adalah pada kasus kabinet Natsir, kabinet yang hanya mampu bertahan selama 9 bulan karena tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini juga yang menjadi pemicu turunnya kabinet – kabinet berikutnya yakni Kabinet Sukiman dan Kabinet Wilopo.
Memang demokrasi liberal ini memiliki tujuan untuk melibatkan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintahan. Akan tetapi, seringnya pergantian kabinet yang terjadi menunjukkan adanya instabilitas politik pada masa tersebut. Hal ini menjadi salah satu alasan sistem pemerintahan Indonesia kemudian berubah menjadi sistem presidensial melalui dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno.