Riya, dalam terminologi agama Islam, merujuk pada tindakan melaksanakan perbuatan baik dengan niatan mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia, bukan semata-mata karena Allah. Harus kita pahami, bahwa dasar niatan dalam melakukan suatu perbuatan adalah pondasi utama dalam agama Islam. Rasulullah SAW pernah berkata, “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Riya, secara umum, dibagi menjadi dua jenis berdasarkan bentuknya, yakni riya dalam niat dan riya dalam perbuatan.
Riya dalam Niat
Riya dalam niat terjadi ketika seseorang memiliki niatan tidak murni dalam melakukan perbuatannya. Niatan ini bisa berupa harapan untuk dipuji, dihormati, atau diperhatikan oleh orang lain. Ini adalah jenis riya yang paling berbahaya karena berhubungan langsung dengan hati dan dapat merusak nilai suatu amalan.
Sebagai contoh riya dalam niat, mari kita pertimbangkan seseorang yang berpuasa. Seorang individu mungkin memutuskan untuk berpuasa dengan tujuan agar orang lain melihatnya sebagai orang yang taat beragama, bukan karena berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, puasa tersebut menjadi riya karena niat utamanya adalah mencari pengakuan dari manusia, bukan untuk ibadah kepada Allah.
Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendorong seseorang untuk berpuasa dengan niatan yang murni, yakni agar mendapatkan ridho Allah dan hasil dari amalan puasanya, yaitu pahala dari Allah SWT.
Ingatlah bahwa niat adalah dasar dari semua amalan. Jika niat kurang murni, maka amalan tersebut akan kurang bernilai di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap Muslim untuk selalu mengevaluasi niat mereka dalam segala yang mereka lakukan, supaya terhindar dari perbuatan riya yang dapat merugikan diri mereka sendiri di dunia maupun akhirat.