Pertanyaan ini membuka ruang untuk melihat perspektif agama terhadap konsep kejujuran. Pada dasarnya, semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, salah satunya adalah kejujuran. Untuk menggali lebih dalam pertanyaan ini, kita akan merujuk pada beberapa agama utama, yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha.
Islam
Dalam ajaran Islam, berbohong dianggap sebagai dosa. Rasulullah SAW menyatakan bahwa seorang muslim harus selalu berbicara yang benar, meski itu pahit. Hal ini tercermin dalam Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia mengkhianati”. Sehingga, dari sudut pandang Islam, Tokoh C tidak diperbolehkan berbohong kepada Tokoh A.
Kristen
Dalam ajaran Kristen, kebenaran juga menjadi prinsip dasar. Dalam Kitab Keluaran 20:16 dalam Alkitab, dinyatakan “Jangan memberi kesaksian palsu terhadap sesamamu.” Jadi, berbohong juga tidak dibenarkan dalam ajaran Kristen. Dengan demikian, Tokoh C tidak diperbolehkan berbohong pada Tokoh A.
Hindu
Dalam agama Hindu, konsep ‘Satya’ atau kebenaran sangat penting. Kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, juga menjelaskan betapa pentingnya kejujuran. Dalam Bhagavad Gita 17.15 dikatakan, “Yajna, dana, dan tapasya yang diselesaikan oleh para pengikut agama Veda dinyatakan sebagai tindakan austere dari lidah, badan, dan pikiran”. Ini berarti tindakan berbicara harus didasarkan pada kebenaran dan jujur. Jadi, Tokoh C tidak seharusnya berbohong pada Tokoh A dalam agama Hindu.
Buddha
Dalam ajaran Buddha, salah satu presept (aturan) utama adalah ‘Musavada veramani sikkhapadam samadiyami’ yang berarti ‘Saya berjanji untuk menjauhi ucapan palsu’. Kejujuran adalah bagian penting dari berbagai aspek kehidupan dalam Buddhisme. Oleh karena itu, berdasarkan ajaran Buddha, Tokoh C tidak boleh berbohong pada Tokoh A.
Pada akhirnya, berbohong tidak dibenarkan dalam ajaran agama apapun. Namun, kerumitan kenyataan hidup seringkali membuat orang menghadapi dilema etis. Mungkin ada situasi di mana kebohongan dianggap “putih” atau diperbolehkan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Namun, ini adalah pengecualian dan bukan norma. Kejujuran harus tetap menjadi pedoman utama dalam interaksi kita satu sama lain, termasuk dalam hubungan antara Tokoh C dan Tokoh A.