Hukum Islam dikembangkan selama berabad-abad oleh ulama yang dicapai melalui proses penafsiran dan aplicasi dari beberapa sumber hukum Islam. Proses penafsiran ini dikenal dengan istilah ijtihad, dan mereka yang melakukan proses ini dikenal sebagai mujtahidun. Ada dua dasar utama yang disepakati oleh semua ulama fiqih sebagai asas pengambilan hukum dalam Islam: Al-Qur’an dan Hadits.
Al-Quran
Al-Quran dianggap sebagai sumber utama hukum Islam. Ini adalah firman Allah dan merupakan wahyu terakhir kepada umat manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Al-Quran berisi instruksi dan panduan bagi umat manusia dalam segala aspek kehidupan.
Al-Qur’an berisi ayat-ayat hukum (ayat ahkam) yang memberikan petunjuk langsung mengenai hukum dan aturan perilaku dalam berbagai topik mulai dari ibadah, transaksi bisnis, hukum pidana, hukum keluarga, dan banyak lagi. Oleh karena itu, Al-Quran adalah sumber hukum pertama dan paling otoritatif dalam Islam.
Hadits
Hadits adalah catatan tentang perkataan, tindakan, dan persetujuan Nabi Muhammad. Mereka dianggap sebagai sumber kedua hukum setelah Al-Quran. Hadits digunakan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran, terutama dalam hal-hal yang kurang spesifik atau tidak disebutkan secara langsung dalam teks Al-Quran.
Proses pengambilan hukum dari Hadits mirip dengan proses yang digunakan untuk Al-Quran. Hadits yang memiliki rantai transmisi yang kuat (sanad) dan kontennya tidak bertentangan dengan Al-Quran dianggap sebagai sumber hukum. Hadits mengisi banyak celah dan memberikan detail dan konteks yang tidak ditemukan dalam Al-Quran, membuatnya menjadi sumber hukum yang penting dan tak terpisahkan.
Dalam membuat interpretasi dan menerapkan hukum, ulama fiqih harus memperhitungkan konteks spesifik sebuah peristiwa dan tujuan umum hukum Islam (maqasid al-shariah) yang meliputi perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Metodologi ini memastikan bahwa hukum yang dibuat tidak hanya adil dan etis, tetapi juga praktis dan relevan dengan konteks kontemporer.