Sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) menjadi wilayah di bawah aturan langsung Gubernur Jenderal. Namun, muncul hal penting dalam sejarah Hindia Belanda yang patut kita telisik lebih dalam; hampir semua Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak setuju dengan sistem peradilan kerajaan. Mengapa demikian? Kesalahpahaman ini lahir dari beragam alasan.
Pertama, terdapat kesenjangan antara hukum Belanda dan adat setempat. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sering merasa bahwa peradilan kerajaan tidak menghormati budaya dan adat istiadat local. Hukum kerajaan didasarkan pada hukum Eropa, sedangkan masyarakat Hindia Belanda memiliki sistem hukum adat yang sudah ada sebelum Belanda datang. Ini menjadi salah satu penyebab banyak Gubernur Jenderal yang tidak sepakat dengan peradilan kerajaan.
Kedua, peradilan kerajaan dianggap kurang transparan dan penuh tekanan politik. Bagi sebagian besar Gubernur Jenderal, sistem hukum kerajaan dianggap penuh dengan korupsi dan nepotisme. Ada rasa ketidakpuasan dan tekanan yang mengakibatkan mereka mencari alternatif lain untuk menyelesaikan masalah hukum di Hindia Belanda.
Ketiga, peradilan kerajaan sering dianggap tidak efisien dan efektif. Dalam banyak kasus, proses pengadilan berjalan sangat lambat dan memakan banyak waktu. Hal ini sering membuat keputusan hukum menjadi kadaluarsa atau irrelevant dengan kondisi saat itu. Inefisiensi ini membuat Gubernur Jenderal merasa frustrasi dan tidak setuju dengan sistem peradilan kerajaan.
Sementara itu, bukan berarti semua Gubernur Jenderal tidak setuju dengan peradilan kerajaan. Ada juga sebagian yang berusaha memperbaiki dan menyesuaikan sistem ini dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Namun, penolakan dan kritik tajam dari mayoritas Gubernur Jenderal membuat kita harus merenung dan mencari tahu apa sebenarnya yang salah dari sistem peradilan kerajaan.
Jadi, jawabannya apa? Jawabannya sederhana, antara peradilan kerajaan dengan sistem dan budaya Hindia Belanda, terdapat pasti konflik dan perbedaan yang substantial. Akibatnya, hal ini seringkali menyebabkan paham yang berbeda dan penolakan dari pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang berposisi di antara peradilan kerajaan dan rakyat yang mereka pimpin.