Merujuk secara langsung dengan istilah kuncinya, “Hubungan suami istri tanpa ada ikatan perkawinan yang sah menurut agama adalah pengertian dari”, yang mengarah pada konsep relasi intim antara individu yang tidak dibekali oleh legitimasi perkawinan oleh agama atau hukum negara, sering kali disebut sebagai “hidup bersama” atau “kohabitasi”.
Berbeda dengan perkawinan, kohabitasi biasanya terjadi tanpa upacara resmi maupun legalitas tertulis. Dalam banyak agama dan masyarakat, ini sering kali dipandang sebagai tindakan yang tidak patut atau berdosa, karena tidak mematuhi prinsip dan tata cara pembentukan sebuah keluarga yang ditentukan oleh agama dan norma sosial.
Dalam perspektif hukum, termasuk hukum Indonesia, hubungan seperti ini sering kali berada dalam daerah abu-abu. Meskipun tidak secara langsung dilarang, namun hal ini tetap tidak diakui secara legal dan berakibat pada masalah hukum, terutama dalam hal hak dan kewajiban antara “suami” dan “istri” seperti warisan, hak asuh anak, dan lainnya.
Dari sudut pandang agama, sebagian besar tradisi religius, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, menuntut perkawinan sebagai syarat legitimasi hubungan seksual dan pembentukan keluarga. Dalam Islam misalnya, hubungan suami istri tanpa nikah merupakan perbuatan yang dilarang dan dianggap sebagai zina.
Namun demikian, konsep dan pandangan tentang kohabitasi ini bisa berbeda-beda di masyarakat dan budaya yang berbeda. Di beberapa masyarakat di dunia, terutama di Barat, kohabitasi sebelum dan dalam kisaran perkawinan biasa dan sering terjadi¹. Meski begitu, kohabitasi tetap memunculkan berbagai isu, termasuk hak dan perlindungan individu, peran dan tanggung jawab dalam hubungan, status sosial, dan pengaruh terhadap anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut.
Sebagai sesama masyarakat, penting untuk memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan ini, namun demikian, sebagai individu yang memiliki nilai dan norma, kita juga harus berpegang pada norma dan hukum yang berlaku, serta mempertimbangkan konsekuensi dan tanggung jawab dari tindakan kita.
Jadi, jawabannya apa? Untuk memahami “hubungan suami istri tanpa ada ikatan perkawinan yang sah menurut agama”, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, baik agama, hukum, sosial, maupun kultural, dan mempertimbangkan aspek dan konsekuensinya baik dalam lingkup individu maupun kesejahteraan masyarakat.