Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, menerapkan berbagai paham dalam menjalankan roda pemerintahannya. Salah satu paham yang diterapkan tersebut bertujuan untuk menghindari penumpukan kekuasaan pada seseorang atau lembaga, sehingga meminimalisir terjadinya penyalahgunaan dalam penggunaan wewenang dan kekuasaan. Paham yang dimaksud adalah paham Checks and Balances atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ‘Sistem Pembagian Kekuasaan’.
Sistem pembagian kekuasaan ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Perancis, Montesquieu. Prinsip ini kemudian diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Menurut UUD 1945, paham ini diterapkan dengan membagi kekuasaan menjadi tiga bagian yang setara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sistem Checks and Balances dipilih oleh Indonesia untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan oleh individu atau lembaga. Dengan sistem ini, setiap ranah kekuasaan memiliki batasannya masing-masing dan mengawasi satu sama lain. Hal ini disebut sebagai konsep ‘cakupan dan penyeimbang’ yang membuat tak seorang pun memiliki kekuasaan absolut.
Tidak ada kekuasaan absolut dalam setiap lembaga, karena setiap lembaga memiliki kewenangan untuk saling mengawasi lembaga lainnya. Misalnya, eksekutif tidak boleh mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan dari legislatif, dan jika ada keputusan yang dipandang melanggar hukum, yudikatif dapat turun tangan untuk mengadili.
Melalui penerapan sistem Checks and Balances atau Sistem Pembagian Kekuasaan, Indonesia berusaha menghindari penumpukan kekuasaan serta penyalahgunaan kekuasaan oleh individu atau lembaga. Paham ini bertujuan untuk menciptakan tata pemerintahan yang adil, transparan, dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.