Pada tahun 1309, alun-alun kerajaan Majapahit menjadi saksi bisu serangkaian peristiwa yang meneguhkan kekuatan kerajaan ini di Nusantara. Bukan pertempuran atau negosiasi politik yang menjadi titik fokus, tetapi sebuah momen kesatuan spiritual yang melibatkan semua rakyat kerajaan, di mana mereka memusatkan pandangan, doa, dan harapan mereka ke purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Kutipan ini merupakan bagian struktur sebuah naratif yang menggambarkan betapa kuatnya keragaman dalam kerajaan Majapahit.
Perbedaan dalam Satu Visi
Pada saat itu, alun-alun kerajaan Majapahit dipenuhi oleh warganya yang beragam, mulai dari berbagai latar belakang etnis, kelas sosial, hingga agama. Kaum Siwa, Buddha, dan Hindu berada dalam satu perayaan, memperlihatkan keragaman agama yang ada di kerajaan tersebut. Walaupun berbeda-beda dalam ajaran, mereka semua duduk bersama dalam satu visi, dengan satu fokus: purawaktra.
Purawaktra: Titik Temu Keyakinan
Purawaktra menjadi pusat perhatian dan harapan masyarakat Majapahit, tidak dijaga dengan terlalu ketat, mencerminkan bagaimana kerajaan Majapahit berusaha membangun hubungan yang erat dan adil dengan warganya. Menjadi pusat segala doa dan keyakinan yang berbeda-beda, namun pada akhirnya bertujuan pada hal yang sama.
Pemersatu dalam Keragaman
Keragaman dalam kerajaan Majapahit bukanlah faktor pemisah, tetapi justru kekuatan pemersatu. Dalam konteks ini, kutipan ini memiliki struktur yang melukiskan sebuah pemandangan dari kerajaan Majapahit yang kaya akan keragaman, namun tetap solid dalam satuan.
Peristiwa di alun-alun kerajaan Majapahit bukanlah suatu kebetulan. Hal ini merupakan cerminan dari bagaimana kerajaan Majapahit menangani keragaman dalam kerajaannya. Dengan bukti ini, kita bisa melihat bahwa Majapahit memiliki keunikan dalam menjalankan pemerintahannya yang multikultural ini. Melalui perbedaannya tersebut, kerajaan Majapahit memberikan contoh nyata bahwa keragaman bukanlah suatu hambatan, namun sebuah kekuatan yang dapat mempersatukan.