Sekolah

Kesepakatan Antara Hasan bin ‘Ali dengan Mu’awiyah: Pemerintahan Harus Dikembalikan ke Tangan Umat Islam Sepeninggal Mu’awiyah

×

Kesepakatan Antara Hasan bin ‘Ali dengan Mu’awiyah: Pemerintahan Harus Dikembalikan ke Tangan Umat Islam Sepeninggal Mu’awiyah

Sebarkan artikel ini

Sejarah Kesepakatan:

Ketegangan politik yang timbul setelah peristiwa Karbala pada tahun 680 MASEHI menghasilkan perubahan besar dalam dunia Islam. Salah satu episode penting yang mengubah arah sejarah adalah kesepakatan yang dicapai antara Hasan bin ‘Ali dan Mu’awiyah. Kedua pemimpin ini memainkan peran penting dalam sejarah Islam.

Hasan bin ‘Ali adalah cucu Nabi Muhammad SAW dari putrinya, Fatimah. Ia memimpin kaum Muslimin setelah pembunuhan ayahnya, ‘Ali bin Abu Thalib. Di sisi lain, Mu’awiyah adalah gubernur Syria yang ditunjuk oleh Khalifah Uthman bin Affan.

Setelah berlangsungnya perang saudara yang melemahkan dan merenggangkan umat Islam, Hasan memilih jalan damai. Ia menyerahkan kekhalifahannya ke Mu’awiyah pada tahun 661 MASEHI dalam rangka mengakhiri konflik dan memulihkan perdamaian.

Persyaratan Kesepakatan:

Makna dari perjanjian tersebut adalah bahwa pemerintahan harus dikembalikan ke tangan umat Islam setelah kematian Mu’awiyah. Dengan kata lain, kekuasaan tidak boleh diwariskan kepada keturunannya atau orang lain tanpa persetujuan dari umat Islam. Hal ini adalah tanda penting dari demokrasi serta pemisahan antara kekuasaan politik dan agama dalam Islam.

Realitas Sepeninggal Mu’awiyah:

Namun, sepentinggal Mu’awiyah pada tahun 680 MASEHI, perjanjian ini dilanggar. Alih-alih mengembalikan kekuasaan ke tangan umat Islam, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Yazid. Ini memberikan awal kepada Dinasti Umayyah yang dikenal dengan kekhalifahan monarki.

Kesimpulan:

Perjanjian antara Hasan bin ‘Ali dan Mu’awiyah adalah titik balik dalam sejarah Islam. Hasan dengan niat baik berusaha memperbaharui prinsip-prinsip demokrasi dalam Dunia Islam dan mencegah perang sipil. Namun, pelanggaran perjanjian ini oleh Mu’awiyah mencederai demokrasi dan memicu pertikaian yang melelahkan di antara umat Muslim sampai hari ini.

Namun demikian, perjanjian ini tetap dicatat dalam sejarah sebagai perwujudan prinsip demokrasi dalam pemerintahan dan upaya perdamaian yang tampak dalam kemauan Hasan untuk menghindari lebih banyak pertumpahan darah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *