Dalam kerangka konstitusi negara kita, tepatnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), ada aturan yang secara jelas menentukan masalah pergantian atau pemecatan presiden dan wakil presiden. Penjelasan ini berkaitan langsung dengan pertanyaan tentang lembaga negara apa yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dan atau wakil presiden sesuai ketentuan UUD 1945.
Pasal 7B UUD 1945 menyatakan bahwa, “Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.” Mekanisme normalnya, pergantian presiden dan wakil presiden terjadi melalui pemilihan umum yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Namun, apabila presiden dan wakil presiden tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya (baik karen alasan fisik, mental, atau melanggar hukum dan konstitusi), maka ada mekanisme hukum untuk menggantinya sebelum waktunya. Pasal 7C UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) apabila terbukti telah melanggar hukum berat.”
Jadi, berdasarkan ketentuan UUD 1945, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dan atau wakil presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Proses pengusulan pemakzulan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7C dan Pasal 37B UUD 1945.
Melalui mekanisme ini, negara kita memastikan bahwa presiden dan wakil presiden adalah pemimpin yang bertanggung jawab dan harus menjalankan tugas-tugasnya dengan integritas, dan jika terbukti melanggar hukum dan konstitusi, akan ada akibatnya.
Jadi, jawabannya apa? Lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dan atau wakil presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).