Dalam penulisan, khususnya genre sejarah yang kompleks dan penuh detail, figurative language atau bahasa kiasan adalah alat yang sangat kuat yang digunakan oleh penulis dalam mengekpresikan ide atau konsep secara lebih efektif dan menarik. Kata-kata atau frasa yang digunakan lebih dari sekedar arti literal mereka, melalui penggunaan analogi dan kiasan, bermakna jauh lebih dalam dan memberi pembaca pengalaman yang lebih kaya dan lebih emosional daripada yang dapat ditawarkan oleh penulisan deskriptif sederhana. Ini dapat mencakup metafora, simile, personifikasi, atau penggunaan kata-kata sangat konotatif.
Dalam contoh soal uraian yang diberikan – ‘di antara para ibu ratu yang terpukul hatinya, hanya ibu ratu rajapatni biksuni gayatri yang bisa berpikir sangat tenang’, penulis menggunakan kiasan untuk membangkitkan imajinasi pembaca.
Dalam kalimat ini, kita melihat penggunaan personifikasi. Penulis memberikan hati, suatu objek yang biasanya tidak memiliki kemampuan fisik untuk merasakan pukulan, kemampuan untuk dipukul – ‘ibu ratu yang terpukul hatinya’. Ini biasanya digunakan untuk merujuk pada rasa sakit atau kerugian emosional yang dialami oleh ibu ratu.
Personifikasi ini membantu pembaca merasakan rasa sakit yang dialami oleh para ibu ratu dan memahami betapa dalamnya dampak peristiwa yang dihadapi oleh mereka. Penulis juga menggunakan kontras antara emosi ibu ratu yang lain dan ibu ratu rajapatni biksuni gayatri – menunjukkan bahwa hanya dia yang mampu ‘berpikir dengan tenang’. Ini menekankan kebijaksanaan dan ketabahan dari ibu ratu rajapatni biksuni gayatri dibandingkan dengan yang lain.
Kata kiasan merupakan bagian penting dari sastra yang menghidupkan bahasa dan memberikan pembaca gambaran atau perasaan yang lebih kuat tentang apa yang sedang dijelaskan oleh penulis. Ini adalah alat yang membantu pembaca memahami dan merasakan cerita dengan cara yang lebih mendalam dan pribadi.