Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki fondasi hukum dalam penyelenggaraan sistem pemerintahannya. Fondasi hukum tersebut dalam bentuk Undang-Undang Dasar (UUD) yang pertama kali diterapkan di tahun 1945, atau biasa dikenal sebagai UUD NRI 1945. Namun, dalam jelajah demokrasi di Indonesia, UUD ini pernah digantikan oleh UUD RIS 1949 dan UUDS 1950 karena berbagai alasan politis di era tersebut.
Fase pergantian ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang mengembalikan berlakunya UUD NRI 1945. Dekrit ini dikeluarkan dengan sejumlah alasan penting, yang akhirnya membawa Indonesia kembali kepada UUD pertamanya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi momen yang sangat penting dalam sejarah konstitusional Indonesia. Decret Presiden tersebut mempunyai dua poin utama, yaitu: pertama, pembubaran Konstituante yang sebelumnya berencana membuat UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950, serta kedua, pengembalian berlakunya UUD NRI 1945. Presiden Sukarno menganggap bahwa waktu yang telah dihabiskan Konstituante selama hampir lima tahun tidak menghasilkan apa-apa dan justru menyebabkan kebuntuan politik.
Berlakunya kembali UUD NRI 1945 melalui dekrit ini menandai era baru dalam parlemen Indonesia, sindiran kepada gagalnya sistem multipartai dalam mencapai kesepakatan penting bagi bangsa, serta perubahan dinamika politik Indonesia menjadi kembali ke sistem presidensial murni seperti yang diamanatkan dalam UUD NRI 1945.
Maka, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi simbol penting dalam perjalanan hukum dan demokrasi di Indonesia, yang mengakhiri periode transisi dan menstabilkan konstitusi negara dengan melanjutkan UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di negeri ini. Selain itu, Dekrit Presiden tersebut juga memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya konsensus dan efisiensi dalam proses legislatif, serta perlunya kestabilan konstitusi dalam mendukung tatanan negara yang demokratis.