Di era keterbukaan informasi dan transparansi yang kita jalani saat ini, setiap orang sebenarnya memiliki kebebasan untuk mengemukakan dan mengekspresikan pendapatnya. Kebebasan berekspresi ini dijamin di dalam konstitusi oleh negara. Akan tetapi, realitas yang terjadi di lapangan kerap kali menunjukkan pandangan yang berbeda. Banyak individu, termasuk siswa, masih merasa takut dan malu untuk mengekspresikan pendapat atau keinginan mereka secara terbuka.
Rasa malu dan takut ini seringkali muncul pada siswa di usia remaja. Akibat perasaan seperti ini, proses belajar mengajar yang seharusnya berlangsung secara interaktif menjadi terhambat. Sebagai contoh, siswa cenderung memilih untuk diam daripada memulai perdebatan atau dialog dengan guru dan sesama siswa. Tentunya, kondisi semacam ini sangat tidak kondusif bagi upaya pembelajaran yang seharusnya berlangsung secara dialogis dan interaktif.
Oleh karena itulah, penanaman kemampuan asertif pada siswa menjadi sangat penting dan perlu dilakukan sedini mungkin. Kemampuan asertif ini akan membantu siswa untuk berani mengemukakan pendapat atau keinginan mereka secara terbuka tanpa merasa malu atau takut. Dengan demikian, proses belajar mengajar di sekolah dapat berlangsung secara lebih interaktif dan efektif.
Kesimpulan dalam teks opini ini adalah bahwa meski kebebasan berekspresi telah dijamin oleh negara, ada sebuah “tembok rasa takut dan malu” yang masih harus dirobohkan, terutama pada generasi muda seperti siswa. Dengan penanaman kemampuan asertif, diharapkan “tembok” tersebut dapat dirobohkan sehingga kebebasan berekspresi dapat dirasakan sepenuhnya oleh setiap individu.