Diskusi

Naiknya Suharto sebagai Satu-satunya Calon Presiden RI dalam Sidang Umum MPR 1998, Tidak Dapat Dipisahkan dari Komposisi Anggota DPR/MPR yang Lebih Mengarah Pada

×

Naiknya Suharto sebagai Satu-satunya Calon Presiden RI dalam Sidang Umum MPR 1998, Tidak Dapat Dipisahkan dari Komposisi Anggota DPR/MPR yang Lebih Mengarah Pada

Sebarkan artikel ini

Kenaikan Suharto pada tahun 1998 sebagai satu-satunya calon presiden di Republik Indonesia (RI) merupakan peristiwa yang monumental dalam sejarah demokrasi di negara ini. Tidak dapat diabaikan bahwa fenomena ini tidak dipisahkan dari komposisi anggota DPR/MPR pada waktu itu. Hal tersebut bukan hanya mencerminkan sistem politik yang ada tetapi juga permainan kekuasaan dan pengaruh di tingkat tertinggi pemerintahan.

Sistem Representative yang Dominan

Dalam sidang umum MPR 1998, Suharto menjadi satu-satunya calon presiden. Hal ini manipulatif namun sah dalam konteks hukum. Komposisi anggota MPR/DPR saat itu dominan oleh Golkar, partai yang tidak hanya didukung oleh Suharto tetapi juga perwakilan dari kalangan militer dan birokrasi pemerintahan.

Struktur partai politik RI pada waktu itu lebih mengarah pada sistem representatif dibandingkan sistem multipartai yang sehat. Dimana kekuasaan dan pengaruh dicengkeram oleh segelintir pihak yang memiliki akses dan sumber daya politik. Ini memiliki efek langung pada proses seleksi calon presiden, dengan Suharto sebagai satu-satunya calon yang bisa dipilih.

Peran Militer dan Birokrasi

Tidak hanya partai politik, militer dan birokrasi pemerintahan juga memiliki peran penting dalam kenaikan Suharto sebagai satu-satunya calon presiden. Pengaruh mereka dalam MPR dan DPR cukup signifikan, membuat mereka bisa memberikan dukungan yang kuat bagi Suharto.

Teori Tirani Mayoritas

Ironisnya, situasi ini juga menjadi contoh klasik teori “tirani mayoritas”. Dalam hal ini, mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Suharto sehingga hasilnya tidak mencerminkan kehendak rakyat sepenuhnya. Ini jadi wujud konkret bagaimana struktur kekuasaan politik bisa mempengaruhi sistem demokrasi, meskipun pada tingkat teoritis, setiap warga negara seharusnya memiliki suara yang sama dalam politik.

Kesimpulan

Dengan menggabungkan pemahaman tentang struktur politik, peranan militer dan birokrasi, serta dinamika internal DPR/MPR pada waktu itu, jelas terlihat bahwa proses seleksi calon presiden RI pada tahun 1998 tidak bebas dari pengaruh dominasi politik tertentu. Hal ini memberi pelajaran penting tentang pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan dan seberapa besar pengaruhnya terhadap proses demokratis dalam sebuah negara. Kejadian ini juga harus menjadi pelajaran agar tidak terulang di masa mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *