Selama waktu pendudukan Jepang pada abad ke-20, bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satunya adalah diperkenalkannya ritual penghormatan kepada Dewa Matahari, yang penting dalam budaya Shinto Jepang. Ritual ini melibatkan membungkukkan badan ke arah matahari saat terbit, sebagai pertanda penghormatan dan penghambaan.
Upacara seremonial ini telah menjadi bagian yang terintegrasi dari rutinitas harian masyarakat selama periode pendudukan Jepang. Selain diterapkan di militer, prosesi ini juga dilakukan oleh masyarakat sipil, termasuk anak-anak sekolah. Ritual ini disebut “Shurei no Hi”, atau “Hari Penghormatan kepada Sang Matahari”. Upacara ini memainkan peran penting dalam menyebarkan ideologi-ideologi nasionalis Jepang dan mencoba untuk meningkatkan loyaltas rakyat Indonesia terhadap pemerintahan pendudukan Jepang.
Namun demikian, ada resistensi budaya dan pribadi terhadap pembentukan ini. Bagi banyak orang Indonesia, ritual tersebut menjadi suatu bentuk penjajahan yang tak hanya fisik, namun juga mental dan spiritual. Meskipun ada penolakan dan resistensi, adanya pengaruh Jepang membuat ritual ini tetap ada dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat.
Ritual “Shurei no Hi” menjadi bukti simbolis dari bagaimana pendudukan Jepang berdampak pada kehidupan bangsa Indonesia, baik secara materiil atau spiritual. Hal ini juga menjadi pengingat dari sejarah panjang Indonesia dalam menghadapi penjajahan asing, dan usaha bangsa tersebut dalam mencari identitasnya sendiri di tengah pengaruh asing yang kuat.