Poligami adalah sebuah fenomena yang telah eksis sejak lama dalam masyarakat. Terdapat banyak negara yang memandang praktek ini sebagai hal yang tabu, namun di sejumlah negara seperti Indonesia, poligami masih dianggap sah dalam hukum dan bahkan tertanam dalam tradisi dalam beberapa kasus. Namun, dalam konteks Indonesia khususnya, kaum pria yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu jika ingin melakukan poligami.
Sebelum membahas satu persyaratan yang khusus bagi PNS pria yang ingin melakukan poligami, penting untuk mengetahui bahwa poligami sendiri di Indonesia dikendalikan oleh UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, dinyatakan bahwa seorang PNS yang ingin melakukan poligami harus mendapatkan izin dari atasannya.
Persyaratan yang paling krusial dalam hal ini adalah bahwa PNS tersebut harus “mampu secara yuridis dan materiil”. Konsep ini dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 10 Tahun 1983:
Seorang Pegawai Negeri Sipil pria diperkenankan mengadakan perkawinan lagi (poligami) apabila perkawinannya diperkirakan dapat membahagiakan, yakni apabila:
a. istrinya tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri secara lahir dan batin;
b. istrinya mendapat cacat badan atau penyakit yang menurut pertimbangan dokter tidak dapat disembuhkan lagi dan atau istrinya tidak dapat melahirkan keturunan;
c. istrinya melakukan perbuatan keji atau tercela yang merusak kehormatan suami atau rumah tangga;
d. sudah mendapat persetujuan dari istrinya.
Jadi, seorang PNS di Indonesia yang ingin melakukan poligami tidak hanya perlu mendapatkan izin dari atasan, tetapi juga perlu memastikan bahwa ia dapat memenuhi semua persyaratan yang telah disebutkan di atas. Ini didasarkan pada alasan-etika dan moral, memberikan perlindungan kepada istri pertama dan mencegah penyalahgunaan poligami oleh PNS.