Alangkah luar biasanya sisi humanis dalam setiap interaksi kita sebagai manusia. Setiap pertemuan, setiap perpisahan, setiap tawa dan tangis, semuanya membawa dampak yang mendalam terhadap diri kita—membentuk, membangun, dan kadang-kadang, menghancurkan kita. Tentunya, setiap pengalaman ini membawa berbagai macam perasaan dan mungkin saja, ada satu harapan: “Saya berharap Anda merasakan apa yang saya rasakan ketika Anda menghancurkan jiwaku.”
Perasaan sakit, patah hati, dan kehilangan tidak bisa dijelaskan sepenuhnya. Ketika seseorang menghancurkan kita, terutama saat mereka menghancurkan bagian paling dalam dari diri kita—jiwa kita—kita merasa seolah-olah seluruh dunia runtuh. Kita merasakan kekosongan, kesedihan, dan keterasingan. Tugas dari melewati rasa sakit ini bisa menjadi berat dan memusingkan.
Namun dalam konteks ini, ada pesan yang lebih kuat, sebuah harapan. Harapan bahwa orang yang menyebabkan perasaan ini—orang yang menghancurkan jiwamu—akan merasakan apa yang mereka telah sebabkan kamu rasakan. Bukannya untuk memberikan balasan atau balas dendam, tetapi untuk memahami. Karena melalui pengalaman itu, mereka mungkin akan memahami dampak dari perbuatan mereka dan mungkin saja, membuat mereka berpikir dua kali sebelum menyakiti orang lain.
Dalam dunia yang ideal, setiap orang akan bertindak dengan kasih sayang dan empati. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa belajar dari pengalaman kita dan bagaimana kita bisa mendidik orang lain? Sampai sejauh mana kita harus melalui rasa sakit untuk membuat orang lain mengerti?
Kata-kata “Saya berharap Anda merasakan apa yang saya rasakan ketika Anda menghancurkan jiwaku” mencerminkan keinginan unik kita untuk mencapai pemahaman dan empati—bahkan ketika kita sakit. Sebuah hati yang terluka bisa mengajar. Ada pelajaran yang bisa kita ambil dan kita ajarkan. Orang yang menghancurkan jiwamu bisa saja menjadi guru terbaikmu, karena mereka membantumu memahami apa artinya merasa sakit dan memberimu motivasi untuk mencegah rasa sakit tersebut terjadi pada orang lain.
Terakhir, dalam mencari pemahaman dan empati ini, kita juga belajar keberanian. Keberanian untuk menghadapi rasa sakit dan untuk berbicara tentang perasaan kita. Keberanian untuk membiarkan orang lain melihat kita dalam keadaan kita yang paling rentan. Dan akhirnya, keberanian untuk berharap dan percaya bahwa perubahan dapat terjadi—bahwa mereka yang menghancurkan jiwamu bisa belajar dan tumbuh dari pengalaman mereka.
Jadi, meski kata-kata “Saya berharap Anda merasakan apa yang saya rasakan ketika Anda menghancurkan jiwaku” tampaknya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan, mereka juga merangkul harapan—harapan bagi pemahaman, empati, dan pertumbuhan.