Dalam istilah hukum Islam, praktek di mana seorang suami tidak dapat kembali kepada mantan istrinya sampai ia telah menikah dengan pria lain, telah bercerai dari pria tersebut, dan telah menyelesaikan masa iddahnya, dikenal sebagai nikah halala atau hukum halala.
Islam memberikan aturan yang sangat rinci dan khusus mengenai pernikahan, perceraian, dan rujuk dalam rumah tangga Muslim. Salah satu dari banyaknya aturan ini adalah hukum halala. Halala berasal dari kata Arab yang berarti ‘perbolehkan’; dalam konteks ini, istilah tersebut merujuk pada seseorang yang menjadikan hal (perbolehkan) untuk orang lain.
Konsep halala biasanya terkait dengan praktik “Talaq al-bid’ah” atau perceraian tiga kali, yaitu ketika seorang suami menceraikan istrinya dengan mengucapkan ‘talaq’ tiga kali secara bersamaan. Menurut hukum Islam, pernikahan ini berakhir secara langsung dan sepasang suami istri tidak dapat kembali bersama kecuali melalui proses halala.
Proses halala melibatkan mantan istri yang menikah dengan pria lain, dalam pernikahan yang sah dan konsumatif, kemudian pria tersebut menceraikannya. Mantan istri tersebut harus menyelesaikan masa iddahnya sebelum ia bisa kembali menikah dengan mantan suaminya.
Meskipun demikian, konsep halala cukup kontroversial dan berkembang pesat dalam berbagai pandangan hukum dan etis di kalangan umat Islam. Beberapa pakar hukum Islam berpendapat bahwa halala pada dasarnya adalah praktik yang merendahkan dan merugikan perempuan. Mereka mengemukakan bahwa perceraian seharusnya bukanlah perbuatan yang sembarangan dan perceraian tiga kali sekaligus seharusnya dihindari.
Pendapat lainnya menjelaskan bahwa halala bertujuan mencegah suami untuk menceraikan istrinya dengan enteng dan tanpa pertimbangan serius. Selain itu, penting untuk diketahui bahwa hukum ini tidak mendorong atau menuntut halala sebagai solusi setelah perceraian. Halala hanyalah satu-satunya cara bagi pasangan untuk rujuk jika mereka telah menjalani perceraian tiga kali.
Namun, hukum halala mengharuskan pernikahan dan perceraian kedua itu terjadi secara natural dan dengan niat yang benar, bukan hanya sebagai formalitas pengantara bagi mantan suami dan istri untuk bisa kembali bersatu. Hal ini untuk menjaga integritas dan sakralitas pernikahan dalam Islam serta untuk melindungi hak dan martabat perempuan.