Pada suatu hari, seorang tua tengah menggembalakan keledainya di padang rumput yang luas. Di tengah kedamaian alam, langit biru, dan burung-burung yang bercuit riang, suasana mendadak berubah dengan kedatangan beberapa tentara musuh.
Di kejauhan, suara teriakan tentara tersebut sampai ke telinga si tua dan keledainya. “Cepat larinya,” teriak si tua itu kepada keledainya, “jangan sampai mereka menangkap kita.” Hati si tua bergetar, dan tangan keriputnya meremas tali keledai dengan kuat.
Tetapi, si keledai tetap kalem dan berjalan dengan ritmenya sendiri. Spontan, dengan bijaksana si keledai berkata, “katakan,” ujar si keledai, “jika jatuh ke tangan musuh apa aku harus membawa beban dobel?”
Si tua kaget mendengar pertanyaan itu. Dia melihat wajah keledai dan bertanya-tanya. “Kukira tidak,” jawab si tua perlahan, berusaha menjawab sejernih mungkin.
Keledai tersenyum dan menjawab, “Lalu apa peduliku dengan siapa yang akan ku layani? Toh bebanku sama saja.”
Mendengar jawaban itu, si tua merasa terkejut sekaligus tercerahkan. Dia pun memutuskan untuk berlari meninggalkan keledai, percaya bahwa hewan itu tahu cara menyelamatkan dirinya sendiri. Kata-kata keledai telah membuka wawasan si tua bahwa setiap mahluk mempunyai perspektifnya sendiri dalam menghadapi hidup. Bekerja bagi siapa pun seharusnya tak menambah beban, asalkan mereka diberi beban yang sama dan adil.
Konjungsi yang digunakan pada teks tersebut adalah ‘tetapi’ dan ‘lalu’. Konjungsi ‘tetapi’ digunakan untuk menyatakan kontras atau pertentangan antara dua klausa atau kalimat. Sementara konjungsi ‘lalu’ digunakan untuk menyatakan urutan waktu atau peristiwa. Kedua konjungsi tersebut digunakan dengan tepat dalam konteks cerita ini.
Jadi, jawabannya apa? “Konjungsi yang digunakan pada teks tersebut adalah ‘tetapi’ dan ‘lalu'”.