Perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara, khususnya di Kepulauan Maluku, telah menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-15. Bangsa Eropa pertama yang mencapai Maluku adalah Portugis dan Spanyol pada tahun 1521. Letak strategis Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah membuat bangsa ini menempatkan kepentingan mereka di wilayah tersebut.
Bangsa Portugal di Maluku
Portugis adalah salah satu bangsa yang memusatkan perhatian mereka di Maluku. Mereka menjalin kerjasama dengan Kerajaan Ternate, salah satu kerajaan yang berkuasa di Maluku. Melalui persekutuan ini, Portugal mendapatkan hak untuk membangun benteng dan melakukan perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkih dan pala, yang merupakan sumber kekayaan dari kerajaan ini.
Namun, kerjasama ini tidak berlangsung lama karena adanya perselisihan yang berujung pada konflik bersenjata. Konflik ini disebabkan oleh penyebaran agama Katolik oleh Portugis yang tidak diterima oleh rakyat Kerajaan Ternate dan tuntutan Portugal untuk menguasai perdagangan rempah-rempah secara monopoli.
Bangsa Spanyol di Maluku
Sementara itu, bangsa Spanyol menjalin kerjasama dengan Kerajaan Tidore, kerajaan lainnya di Maluku. Dalam persekutuan ini, Spanyol mendapat akses untuk mengendalikan dan melakukan perdagangan rempah-rempah di wilayah Tidore.
Namun, seperti halnya dengan Portugal, hubungan Spanyol dengan Tidore juga sangat tegang dan sering kali berujung pada konflik militer. Spanyol mencoba memonopoli perdagangan rempah-rempah dan menuntut untuk membangun benteng di wilayah Kerajaan Tidore, yang menimbulkan perlawanan dari kerajaan.
Konklusi
Maka, bisa ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 1521, tersebut dua bangsa Eropa, Portugis dan Spanyol, berhasil sampai di kepulauan Maluku dan saling memusatkan kekuasaan di sana untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Namun, persekutuan mereka dengan kerajaan-kerajaan di Maluku sering kali berujung pada konflik militer dan perselisihan akibat tuntutan mereka untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.