Mengartikan dan memahami bagaimana batas wilayah negara ditetapkan adalah subjek yang rumit dan dipenuhi dengan variasi pendapat. Namun, ada beberapa tokoh penting yang memiliki pendapat yang berbicara mengenai konsep ini. Mereka berpendapat bahwa penetapan wilayah negara tidak semata-mata didasarkan pada hukum internasional melainkan juga pada dasar kemanusiaan dan kemauan Tuhan.
Woodrow Wilson dan Empat Belas Poinya
Presiden AS ke-28, Woodrow Wilson, adalah tokoh yang berpeui tentang penetapan batas-batas negara berdasarkan aspek-aspek kemanusiaan dan agama. Dalam pidato bersejarahnya yang dikenal sebagai “Empat Belas Poin”, Wilson mengusulkan ide-ide revolusioner tentang perdamaian dunia dan pembentukan batas negara.
Poin pertama Wilson mendefinisikan bahwasanya perdamaian harus dibangun berdasarkan dasar pengertian bukan perjanjian rahasia. Poin kesebelasnya, mencakup gagasan bahwa batas-batas geografis harus dipertimbangkan berdasarkan kepentingan bangsa-bangsa yang terlibat dan bukan hanya berdasarkan keputusan politis. Dengan mengungkapkan ini, Wilson menegaskan bahwa penetapan wilayah negara harus mempertimbangkan etnis dan kultur yang berbeda, bukan hanya hukum internasional.
Paus Yohanes Paullus II
Paus Yohanes Paullus II adalah tokoh religi yang mengusung gagasan bahwa kemauan Tuhan juga berperan dalam menentukan batas-batas wilayah. Ia berkeyakinan bahwa wilayah suatu negara tidak boleh ditentukan semata-mata berdasarkan perang atau penjajahan, melainkan juga mesti mempertimbangkan keadilan, martabat manusia, dan tentunya, kemauan Tuhan.
“Kita tidak boleh melupakan bahwa Tuhan adalah pencipta semua, dan bahwa setiap bangsa memiliki hak wilayah mereka sendiri yang harus dihormati,” ujar Paus Yohanes Paullus II dalam sebuah pidato.
Kesimpulan
Pendapat beragam dari tokoh berpengaruh ini membukakan wawasan mengenai bagaimana seharusnya kita menilai dan mempertimbangkan penetapan wilayah negara. Harus ada campuran yang seimbang antara hukum internasional, pertimbangan kemanusiaan, dan pengertian tentang kemauan Tuhan dalam prosedur semacam itu.
Jadi, jawabannya apa? Jelasnya, pendekatan terhadap masalah ini harus melampaui sekedar perspektif legal. Harus ada pengakuan dan penghargaan terhadap aspek kemanusiaan dan kebebasan individu dalam proses pembentukan atau pemilihan batas-batas wilayah negara.